KU
KEJAR MIMPI “KERAWANG GAYO TUA” NENEK
“Teeettt teeettt teeettt..” bunyi bel 3
kali pertanda istirahat.
Aku dan kawanku Septi seperti biasanya
pergi ke rumah nenek yang berada tepat di samping kiri sekolah saat jam
istirahat.
“Assalamu’alaikum nek..” salam kami
kepada nenek dengan semangat.
“Wa’alaikumsalam etek-etek jeroh..” nenek menjawab sambil tersenyum hangat.
Nenek hidup sebatang kara. Dia sudah
berumur sekitar 68 tahun. Semua anak-anak nenek sudah berkeluarga dan kakek
sudah lama meninggal. Keseharian nenek hanya menanam sayuran di kebun samping
rumahnya dan mengutip kemiri di ladangnya. Biasanya saat istirahat dan kami
main ke rumah nenek, nenek sedang menjemur kemirinya. Sesekali nenek sedang mengopek kemiri yang sudah kering.
“Nek, aku bantu jemur kemirinya ya…” cetusku.
“Ya Ainur, pelan-pelan ya tek..” jawab nenek.
“Ya nek, serahkan semua ke Ainur, pasti
beres..” kujawab dengan sedikit canda.
Selesai menjemur kemiri aku dan Septi
duduk-duduk di teras bersama nenek. Aku suka sekali mendengar cerita nenek.
Apalagi tentang baju kerawang gayo nenek yang sudah tua. Nenek selalu bercerita
hal yang sama tentang masa mudanya dulu sebagai penari bines yang lincah. Walaupun
begitu aku tidak pernah bosan mendengarnya, justru semakin sering aku mendengar
cerita nenek, aku semakin takjub pada nenek.
Hari ini kami sangat beruntung karena
tidak hanya mendengarkan cerita nenek satu kali lagi, tapi nenek pun
menunjukkan baju kerawang gayonya yang sudah belasan tahun disimpan di lemari.
Sambil menunjukkan baju itu, nenek sambil menjelaskan makna tiap warna di motif
baju kerawang tersebut.
“Tek, warna
benang yang menjadi ciri khas kerawang gayo itu ada kuning, merah, hijau, dan
putih. Warna kuning itu berarti kebesaran dan keagungan yang dipakai oleh raja.
Warna merah berarti keberanian. Warna hijau berarti kesuburan dan warna putih
itu berarti suci. Bukankah sangat indah arti warna di kerawang gayo ini
etek-etekku?” tanya nenek.
“Ya nek, indah sekali nek. Bu guru
pun pernah menjelaskan tentang kerawang gayo nek,, katanya kerawang gayo itu adalah
ragam hias atau motif hias yang diterapkan pada kain. Kerawang gayo menjadi
ciri khas dataran tinggi tanah gayo dan merupakan kerajinan turun temurun.
Kebanyakan pakaian yang diberi sulaman kerawang digunakan pada pakaian adat
perkawinan atau pengantin. Nah, bu guru pun bilang ciri khas kerawang gayo
terletak pada bahan, warna dan motif nek” cerita Septi panjang lebar sampai
nafasnya terengah-engah.
Nenek tersenyum simpul dan
melanjutkan ceritanya lagi.
“Benar sekali Septi. Kamu pasti
murid yang baik dan selalu mendengarkan pelajaran dari bu guru” puji nenek pada
Septi.
“Oya nek, sebenarnya bahan apa sih
yang digunakan untuk membuat kerawang gayo itu nek?” tanyaku.
“Bahan dasar untuk kerawang gayo
umumnya dipakai kain yang berwarna hitam, karena warna hitam dianggap dapat
memberikan kehangatan sesuai dengan tempat tinggal masyarakat gayo yaitu di
dataran tinggi dengan suhu yang dingin. Disamping itu juga agar pakaian tersebut
tidak tampak cepat kotor. Seperti itu Ainur..” jelas nenek dengan sabar.
Belum puas Septi mendengar
penjelasan nenek, dia pun bertanya lagi pada nenek.
“Nek, kalau motifnya ini macam-macam
ya nek?” tanya Septi sambil menunjuk-nunjuk motif di kain kerawang nenek.
Belum lagi nenek sempat menjawab Septi
sudah mengajukan pertanyaan selanjutnya selanjutnya dan selanjutnya.
“Ini nek? (sambil menunjuk motif
yang lain), yang ini nek? (pindah sudah telunjuknya menunjuk motif yang lainnya
lagi), yang ini? yang ini? yang itu?” tanya Septi tanpa henti.
Mendengar pertanyaan Septi yang
tanpa henti nenek pun sampai terkekeh dan geleng-geleng kepala. Walaupun begitu
semua pertanyaan Septi 98% dijawab oleh nenek.
“Ini coba diperhatikan ya tek. Motif
kerawang umunya terinspirasi dari alam sekitar serta pengaruh alam yang
berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Ada banyak motif kerawang seperti
yang Septi tunjukkan tadi.
Pertama, ini Sara Kopat atau orang
yang dituakan, ini berarti Raja, Imam, Petuah, dan Rakyat, apabila keempatnya
berjalan dengan baik maka tercapailah kesempurnaan hidup. Yang ini Peger atau
pagar yang berarti sesuatu telah dijaga, apabila diluar pagar bukan
kepunyaannya lagi. Yang ini Emun Berangkat atau awan beriring berarti seiya
sekata, kelurah sama menurun kebukit sama mendaki. Duduk sama rendah tegak sama
tinggi. Yang ini Pucuk Rebung berarti anak muda yang akan menggantikan orang
tuanya kelak maka harus diberikan pembinaan. Yang ini Puter Tali atau putar
tali berarti sebuah ikatan kekeluargaan dan kebersamaan dalam menyelesaikan
masalah bersama-sama. Yang ini Mata Pune atau mata burung punai berarti waspada
terhadap sesuatu keadaan yang membahayakan. Yang ini Subang Kertan atau anting-anting
dari bahan tanaman berarti keindahan yang harus dimiliki, meskipun tidak ada
anting-anting yang sebenarnya, namun dapat dimanfaatkan tumbuhan di sekitarnya.
Yang ini Tapak Seleman atau daun tumbuhan tapak seleman berarti hidup
bergantung pada alam tumbuhan sekitarnya. Yang ini Jejepas atau tepas yaitu gabungan
dari motif pucuk rebung, sara kopat, puter tali yang berarti antara muda-mudi
dan orang tua terjalin satu ikatan yang kuat seperti jalinan tepas. Yang
terakhir ini Rumet muriti atau rapat berbaris yaitu gabungan motif sara kopat
dan peger diiringi oleh motif mata pune, yang berarti sama-sama berbaris rapat
bergabung untuk menjaga keamanan antara Raja dan orang yang bertugas menjaga
keamanan” jelas nenek sambil menunjukkan tiap2 motifnya.
Mata Septi pun terus mengikuti arah
gerak telunjuk nenek tanpa berkedip. Aku pun sangat antusias dengan semua penjelasan
nenek. Tidak terasa bel masuk pun sudah berbunyi. Cepat-cepat kami pamit sama
nenek dan langsung lari menuju ke sekolah.
Tidak lama setelah kami sampai di
kelas, bu guru pun masuk ke kelas. Sebelum memulai pelajaran aku memberanikan
diri untuk bertanya tentang kerawang
gayo yang belum sempat aku tanyakan pada nenek.
“Ibu, boleh aku bertanya?”
“Ya Ain, mau tanya apa?”
“Begini bu, tadi nenek bercerita
padaku dan Septi tentang kerawang gayo. Tapi, masih ada satu pertanyaan yang
mengganjal dibenakku bu, nenek menyebutkan banyak sekali motif kerawang gayo.
Akan tetapi aku sering melihat kerawang-kerawang gayo yang baru dengan motif
yang berbeda, apa motifnya sudah berubah bu?” cetusku dengan polosnya.
“Begini Ainur, memang kerawang gayo
memiliki banyak motif. Nah, motif-motif itu sudah banyak yang dimodifikasi
menjadi bentuk-bentuk motif baru tanpa menghilangkan kaidah bentuk yang asli
seperti halnya motif emun berangkat yang banyak diminati pasar sehingga
pengrajin membuat modifikasi-modifikasi dalam bentuk lain. Seperti itu Ain..”
jelas bu guru.
“Oo..gitu ya bu..”
“Iyaa.. sudah Ain?”
“Sudah bu, terima kasih
penjelasannya ya bu..”
“Iya sama-sama Ain..”
Lalu kami melanjutkan pelajaran IPA.
Waktu sudah menunjukkan pukul 12.30, bel pulang pun berbunyi..”Teeettt..teeettt..teeettt..teeettt..”.
Semua anak-anak bubar keluar dari ruang kelas. Sebelum pulang aku masih
teringat dengan kerawang gayo nenek yang sudah tua, yang aku lihat sewaktu
istirahat tadi. Akhirnya kuputuskan untuk melihat sekali lagi baju kerawang
gayo nenek.
“Neneeekk..nenek..” teriakku sambil
berlari-lari kecil.
“Iya etek jeroh, hana ken?” tanya nenek.
“Nek, boleh tidak aku melihat baju
kerawang gayo nenek, sekaliiiii lagi..” rayuku pada nenek.
Tanpa menjawab nenek langsung masuk
ke dalam rumahnya dan meninggalkan aku yang terbengong. Tiba-tiba nenek keluar
rumah lagi dan membawa baju kerawangnya. Aku senang sekali. Sambil memeluk baju
kerawang nenek sambil aku loncat-loncat kegirangan. Nenek hanya tersenyum
keheranan melihat tingkahku.
“Kamu boleh membawanya pulang Ain,
tapi dengan satu syarat..” kata-kata nenek yang membuat aku terkejut.
“Apa nek? Aku boleh meminjam baju
kerawang nenek?” tanyaku masih tidak percaya.
“Iyaa..tek. Karena etek baik dan
jeroh, baju kerawang itu bukan nenek pinjamkan ke kamu, tapi nenek kasihkan ke
kamu Ain. Mera ke kam?” tanya nenek
yang membuat aku semakin tidak percaya.
“Mau neekk…” aku pun tersenyum
sangat lebar.
“Tapi dengan satu syarat..kamu harus
menjaganya baik-baik dan kamu harus bisa mewujudkan mimpi nenek yang gagal dulu
untuk menjadi penari bines yang lincah dan terkenal, bagaimana?” tanya nenek
dengan serius.
“Iya nek, makasih nenek. Aku janji
akan mewujudkan mimpi nenek” jawabku tanpa aling-aling.
Matahari yang masih terik menemaniku
sampai di rumah. Panas pun tidak terasa lagi karena baju kerawang gayo yang
dikasih nenek. Mamak menanyakan dari mana aku dapat baju itu. Aku jelaskan
secara rinci pada mamak. Pesan mamak aku harus menepati janjiku pada nenek.
Aku coba baju kerawang nenek dan
kulihat di cermin. Begitu pas di tubuhku. Mungkin dulu waktu nenek masih muda
dia sebesar aku sekarang. Sungguh cantik baju ini dan sungguh beruntungnya aku
memilikinya. Senyumku pun tak usai-usai. Aku berani berjanji pada nenek karena
kemampuanku menari bines tidaklah terlalu buruk. Aku termasuk penari terbaik di
sekolahku. Walaupun lomba tari bines yang terakhir kali, sekolahku masih kalah
ditingkat kabupaten, aku yakin dengan berusaha berlatih terus dan bekerja
keras, pasti akan dapat bersaing sampai ditingkat nasional, bahkan
internasional. Apalagi sekarang aku memiliki penyemangat baruku yaitu baju
kerawang nenek.
Sore ini aku tidak sempat untuk
menulis di dearyku. Selain membantu mamak di rumah, hari ini pun banyak PR yang
harus dikerjakan.
Saat malam tiba sepulang ngaji aku
dengan semangat yang membara giat belajar tari bines di rumah. Mamak rajin
mengajariku. Jika ada kesalahan dalam lirik, pasti mamak membenarkannya.
Sewaktu masih muda, mamak pun pandai menari bines. “Mungkin mamak menurunkan
bakatnya padaku” pikirku sendiri. Setelah pukul 9 malam, aku beranjak tidur.
Tapi sebelumnya aku menyiapkan roster untuk besok pagi terlebih dahulu.
“Allahuakbar Allaahuakbar….” Adzan
subuh berkumandang.
Aku langsung mengambil wudhu dan
pergi ke menasah untuk shalat subuh berjamaah. Sepulang dari menasah aku mandi
dan siap-siap berangkat ke sekolah. Aku sering berangkat sekolah sendiri,
kadang sesekali bersama dengan Septi. Hari ini aku pun berangkat ke sekolah
sendiri. Karena pasti aku datang lebih awal dibandingkan dengan teman-temanku
yang lain. Jarak rumahku dengan sekolah sekitar 2 kilometer dan memerlukan
waktu sekitar 1 jam perjalanan dengan jalan kaki.
Mentari pagi menemani perjalananku
sampai di sekolah. Dia masih malu-malu mengintip di balik bukit. Dengan riang
dan gembira aku berjalan sambil bernyanyi bines. Setibanya di sekolah aku kaget
melihat rumah nenek yang rame orang. “Ada apa di rumah nenek?” benakku.
Aku melihat pamanku terburu-buru
menuju ke rumah nenek. Aku berlari-lari kecil mendekatinya dan bertanya “Ada
apa paman di rumah nenek?”. Paman menjawab “Nenek Surti meninggal”. Tanpa pikir
panjang aku langsung berlari sekencang-kencangnya ke rumah nenek. Air mata ku
pun jatuh tak tertahankan. Sangat deras.
Benarlah, sampai di rumah nenek aku
melihat nenek yang sudah dikafanin. Tidak melihat kerumunan yang sedang membaca
surat yasin untuk nenek berkali-kali, aku langsung masuk dan menangis
tersedu-sedu.
“Maafkan Ainur nek. Ain belum sempat
meminta maaf sama nenek, Makasih baju kerawang nenek yang diberikan pada Ain.
Ain akan menepati janji Ain pada nenek” aku berbicara tanpa sadar dengan deru
tangisku.
Setelah itu aku sadar dan langsung
mengambil wudhu. Membacakan surat yasin untuk nenek. Karena bel sudah berbunyi
aku harus masuk sekolah. Di sekolah pun aku tidak bisa berkonsentrasi. Tangisku
tiada henti, selalu mengalir walaupun sudah kutahankan. Alhamdulillah semua
dewan guru juga akan melayat ke rumah nenek. Pelajaran hanya sampai pukul
10.00.
Bel berbunyi 4 kali tepat pukul
10.00. Aku langsung lari menuju rumah nenek. Air mata yang tadinya sudah
berhenti, kini mengalir deras lagi. Terlihat orang-orang sudah membawa jenazah
nenek ke kuburan. Aku ikut mengantarkan nenek ke tempat tidurnya yang terakhir.
Semua orang sudah pergi, tinggallah aku sendiri termangu di samping kubur
nenek. Aku masih tidak percaya kalau nenek sudah tidak ada. Septi membujukku
untuk pulang bersamanya. Tapi aku bilang aku masih ingin disini. Setelah sekitar
satu jam, mamak menjemputku. Dia membujukku untuk pulang. Akhirnya aku pun
pulang bersama mamak.
Sampai di rumah aku langsung mencari
dearyku. Aku lari ke kamar dan kutumpahkan semua yang ada dibenakku.
Dear Deary,
Deary.. nenek sekarang sudah tidak
ada. Tidak ada lagi nenek yang selalu
bercerita tentang kerawang gayo saat istirahat. Tidak ada lagi nenek yang setia
mendengarkan ceritaku. Tidak ada lagi nenek yang selalu memanggilku etek jeroh. Aku tidak
percaya kalau nenek meninggalkanku secepat ini. Aku sangat sedih deary.
Jika aku diizinkan, aku ingin
memeluk nenek sekali saja. Rasanya baru kemarin nenek memberikanku baju
kerawang gayonya. Seperti wasiat terakhir yang diberikan nenek padaku untuk
menjadi penari bines yang lincah dan terkenal.
Aku berjanji akan menepati janjiku pada nenek. Aku akan berusaha keras
untuk belajar tari bines. Aku tidak akan mengecewakan nenek yang sudah percaya
sekali padaku. Tidak hanya di sekolah, di rumah pun aku akan lebih giat belajar
tari bines.
Tidak sadar dari awal aku menulis
deary air mataku tak ada hentinya mengalir hingga aku selesai menulis.
“Nenek..nenek..nenek..nenek…” selalu itu yang muncul dipikiranku. Semoga semua
amal dan ibadah nenek diterima disisiNya. Amiin..
Setahun kemudian setelah aku naik di
kelas VIII aku berhasil memenangkan perlombaan perwakilan bines dari kabupaten
Gayo Lues ke tingkat Internasional. Aku akan dikirim ke sebuah Festival di
Singapura. Alhamdulillah.. terima kasih nenek. Ain sayang nenek.
Karya : Endah Kurniatun